Rabu, 28 September 2011

Faktor-Faktor Pembentuk Keluarga Sakinah

Manusia sesuai dengan kodratnya adalah makhluk yang unik. Manusia adalah makhluk biologis dan psikologis, juga sebagai makhluk sosial sekaligus sebagai makhluk spiritual. Sebagai makhluk biologis manusia memiliki kebutuhan vital untuk makan, minum, istirahat dan seks yang tidak dapat ditinggalkan. Untuk pemenuhan ini manusia memiliki kemampuan untuk memilih. Tidak sembarangan makanan dan minuman akan dimakan dan diminum, tidak dapat sesaat kebutuhan seks yang muncul harus dipenuhi. Manusia bertingkah laku untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, karena merupakan faktor pendorong yang penting dalam kehidupan perkawinan seperti keinginan untuk memiliki keturunan, dan memenuhi kebutuhan seksualnya.
 
Dalam perkawinan selain memenuhi kebutuhan biologisnya manusia juga membutuhkan kasih sayang dari orang lain, sehingga dalam memenuhi kebutuhanya tersebut manusia harus berinteraksi dengan sesama manusia lain. Sebagai makhluk individu, manusia lebih ingin memenuhi segala kebutuhan pribadinya, dan sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk lebih mengabdi pada keinginan orang lain dan lingkungannya. Semakin besar kesenjangan kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, maka semakin besar usaha dibutuhkan untuk memenuhi keseimbangan diri (Equilibrium) tersebut. Jika upaya penyesuaian diri ini gagal dipenuhi maka individu akan mengalami gangguan, baik berupa gangguan fisik, psikologis dan sosial, sehingga dalam kehidupan interaktifnya dengan orang lain tidak harmonis.
 
Awal menikah atau ketika sedang jatuh cinta pasangan acapkali merasa cintanya akan terus menggairahkan. Perkawinan sekalipun diawali dengan cinta yang menggebu bukanlah merupakan jaminan bahwa cinta tersebut tidak akan pudar, cinta seringkali mengalami pasang surut, terlebih lagi untuk jangka panjang dan melalui berbagai pergumulan. Di dalam perkawinan juga dituntut adanya kesediaan dua manusia menjalin relasi dengan konsekuensi komitmen permanen. Perkawinan juga menuntut kesediaan kedua pasangan saling berbagi karena tidak mungkin interelasi untuk mempertahankan perkawinan dilakukan hanya satu pasangan, sejauh apapun dia mengusahakan. Pada awal perkawinan, sebaiknya setiap pasangan suami-istri yang menikah harus melakukan komitmen perkawinan, karena merupakan kekuatan utama dalam perkawinan, dengan berkomitmen pasangan suami-istri yang menikah harus menjaganya agar tetap berada di jalurnya, penyebab komitmen perkawinan pada setiap pasangan suami-istri berbeda-beda antara satu dengan yang lain yaitu kepribadian tiap pasangan, kedewasaan setiap pasangan, sikap dua orang pasangan terhadap lembaga perkawinan, kualitas cinta yang dimiliki oleh pasangan dan, kepuasan pasangan terhadap perkawinannya.

Cinta adalah emosi yang paling diinginkan oleh setiap manusia, sebagai contoh, ada yang menjadi rajin kuliah karena ingin bertemu seseorang yang disukai, ada yang rela menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengamati pujaan hatinya hingga ada yang mencoba mengakhiri hidupnya karena putus cinta. Cinta sangat memerlukan keterbukaan diri antar pasangan, apalagi pasangan suami-istri yang yang mengarungi perkawinan dengan komitmen. Noller dan Fitz Pattrick (1993) mengaitkan keterbukaan diri dengan hubungan suami-istri, bahwa keterbukaan diri adalah bagian dari kemesraan hubungan antara suami dan istri karena dalam hubungan yang mesra pasangan dapat menerima pengakuan diri pasanganya dan memberikan tanggapan yang hangat dan simpatik pada pasanganya. Keterbukaan diri tidak hanya terbuka pada perasaan-perasaan positif saja tetapi juga perasaan negatif. Permasalahannya di sini adalah dalam perkawinan tidak semua pasangan suami-istri memiliki komitmen yang kuat. Akibatnya akan menimbulkan persoalan atau konflik dalam kehidupan pasangan tersebut bahkan lebih parah akan menimbulkan perceraian. Seperti salah satu dari keluarga yang menerangkan bahwa kehidupan keluarganya mulai terombang-ambing, dimana seorang istri sudah mulai jengkel ketika bercerita bahwa suaminya sering pulang malam, rajin ke kantor tetapi pulang telat, suka marah-marah dirumah, dan seolah menjaga jarak, kurang komunikasi, banyak menyimpan rahasia, padahal seharusnya terbuka dengan pasanganya.

Dan berangkat dari situ lah keluarga sakinah menghidupkan suasana yang lama terasa hambar dalam pernikahan, membangkitkan cinta yang tadinya sudah layu, membasahi hati yang sudah menjadi kering, menuai keharmonisan demi keharmonisan di tiap atmosfer para penghuni rumah tangganya. Kecintaan yang berlandaskan agama, menjaga cinta dan kesucian masing-masing pasangan di bawah naungan Al-Rohiim (Yang Maha Pengasih), menikah dikarenakan tujuan yang benar mengupayakan tuntunan syari’at, menjadikan kasih sayang dan bentuk-bentuk perhatian sebagai pahala, komitmen perkawinan yang kuat, serta komunikasi yang efektif, hal-hal itulah yang diutamakan dapat membawa keseimbangan nuansa harmonis dan hawa sakinah yang menjadikan cinta selalu menyala dalam hati kedua pasangan, kesetiaan yang mengikat kokohnya sebuah komitmen, itu semua sangat penting dalam menentramkan keutuhan perkawinan. Sehingga cinta dan segala apapun yang mendasari utuhnya hidup rumah tangga tidak lagi hanya mawaddah tapi juga selalu diiringi rasa rahmah yang jalannya searah dengan pencarian ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam penyempurnaan agama yang separuhnya sudah dipenuhi karena terjalinnya sebuah pernikahan antara kedua insan.

A. Konsep Keluarga Sakinah

Hukum keluarga dalam masyarakat muslim kontemporer, baik di negara-negara muslim maupun negara-negara yang penduduknya beragama Islam, sangat menarik untuk dikaji, sebab, di dalam hukum keluarga Islam terdapat jiwa wahyu Ilahi dan sunnah Rasulullah atau dalam qanun (perundang-undangan)-Nya senantiasa dilandaskan pada firman Allah SWT. (Al-Qur’an) dan sabda Rasulullah (Hadits).
Keluarga sakinah merupakan dambaan sekaligus harapan bahkan tujuan insan, baik yang akan ataupun yang tengah membangun rumah tangga. Sehingga tidaklah mengherankan, jika di kota-kota besar pada sekarang ini membincangkan konsep keluarga sakinah merupakan kajian yang menarik dan banyak diminati oleh masyarakat. Sehingga penyajiannya pun beragam bentuk; mulai dari sebuah diskusi kecil, seminar, dan lokakarya hingga privat. Terlepas apakah masalah keluarga sakinah ini menarik atau tidak menarik untuk dikaji, namun yang pasti membentuk keluarga sakinah sangat penting dan bahkan merupakan tujuan yang dicapai bagi setiap orang yang akan membina rumah tangga, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 21: Islam menginginkan pasangan suami isteri yang telah atau akan membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami isteri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya. Ada tiga kunci yang disampaikan Allah SWT dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam, yaitu: 1) Sakinah (as-sakinah), 2) Mawadah (al-mawaddah), dan 3) Rahmah (ar-rahmah).
Secara harfiyah (etimologi) sakinah diartikan ketenangan, ketentraman dan kedamaian jiwa. Kata ini dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak enam kali dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan bahwa sakinah itu didatangkan Allah SWT ke dalam hati para nabi dan orang-orang yang beriman. Ali bin Muhammad Al-Jurjani mendefinisikan sakinah adalah adanya ketentraman dalam hati pada saat datangnya sesuatu yang tidak terduga, dibarengi satu nur (cahaya) dalam hati yang memberi ketenangan dan ketentraman. Adapun menurut Muhammad Rasyid Ridha bahwa sakinah adalah sikap jiwa yang timbul dari suasana ketenangan dan merupakan lawan dari kegoncangan bathin dan ketakutan.
Ulama tafsir menyatakan bahwa sakinah dalam ayat tersebut adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga dimana masing-masing pihak (suami-isteri) menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawaddah), sehingga rasa bertanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi.
Sehingga ungkapan Rasulullah SAW “Baitii jannatii”, rumahku adalah surgaku, merupakan ungkapan tepat tentang bangunan rumah tangga atau keluarga ideal. Dimana dalam pembangunannya mesti dilandasi fondasi kokoh berupa Iman, kelengkapan bangunan dengan Islam, dan pengisian ruang kehidupannya dengan Ihsan, tanpa mengurangi kehirauan kepada tuntutan kebutuhan hidup sebagaimana layaknya manusia tak lepas dari hajat keduniaan, baik yang bersifat kebendaan maupun bukan.
Keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah, merupakan suatu keluarga dambaan bahkan merupakan tujuan dalam suatu perkawinan dan sakinah itu didatangkan Allah SWT ke dalam hati para nabi dan orang-orang yang beriman, maka untuk mewujudkan keluarga sakinah harus melalui usaha maksimal, baik melalui usaha bathiniah (memohon kepada Allah SWT), maupun berusaha secara lahiriah (berusaha untuk memenuhi ketentuan baik yang datangnya dari Allah SWT dan Rasul-Nya, maupun peraturan yang dibuat oleh para pemimpin dalam hal ini pemerintah berupa peraturan dan perundang-undangan yang berlaku).

B.  Ciri-ciri Keluarga Sakinah

1.      Menurut hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada lima, yaitu:
a.       Memiliki kecenderungan kepada agama.
b.      Yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda.
c.       Sederhana dalam belanja.
d.      Santun dalam bergaul.
e.       Selalu introspeksi.

Dalam hadis Nabi juga disebutkan bahwa: ada “empat hal akan menjadi faktor yang mendatangkan kebahagiaan keluarga (arba`un min sa`adat al mar’i)”, yakni:
a.       Suami/isteri yang setia (saleh/salehah).
b.      Anak-anak yang berbakti.
c.       Lingkungan sosial yang sehat.
d.      Dekat rizkinya.

2.  Hubungan antara suami-isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan yang dipakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna, Q/2:187). Fungsi pakaian ada tiga, yaitu:
a)      Menutup aurat.
b)      Melindungi diri dari panas-dingin.
c)      Perhiasan.

Suami terhadap isteri dan sebaliknya harus memfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika isteri mempunyai suatu kekurangan, suami tidak menceriterakan kepada orang lain, begitu juga sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau membawa ke dokter, begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil membanggakan suami, suami juga harus tampil membanggakan isteri, jangan terbalik jika saat keluar rumah istri atau suami tampil menarik agar dilihat orang banyak. Sedangkan giliran ada di rumah suami atau istri berpakaian seadanya, tidak menarik, awut-awutan, sehingga pasangannya tidak menaruh simpati sedikitpun padanya. Suami-isteri saling menjaga penampilan pada masing-masing pasangannya.

3.    Suami isteri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut (ma`ruf), tidak asal benar dan hak, Wa`a syiruhunna bil ma`ruf (Q/4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus memperhatikan nilai-nilai ma`ruf. Hal ini terutama harus diperhatikan oleh suami-isteri yang berasal dari kultur yang menyolok perbedaannya.

4.    Suami istri secara tulus menjalankan masing-masing kewajibannya dengan didasari keyakinan bahwa menjalankan kewajiban itu merupakan perintah Allah SWT yang dalam menjalankannya harus tulus ikhlas. Suami menjaga hak istri dan istri menjaga hak-hak suami. Dari sini muncul saling menghargai, mempercayai, setia, dan keduanya terjalin kerjasama untuk mencapai kebaikan di dunia ini sebanyak-banyaknya melalui ikatan rumah tangga. Suami menunaikan kewajiabannya sebagai suami karena mengharap ridho Allah. Dengan menjalankan kewajiban inilah suami berharap agar amalnya menjadi berpahala di sisi Allah SWT. Sedangkan isteri, menunaikan kewajiban sebagai isteri seperti melayani suami, mendidik anak-anak, dan lain sebagainya juga berniat semata-mata karena Allah SWT. Kewajiban yang dilakukannya itu diyakini sebagai perintah Allah, tidak memandang karena cintanya kepada suami semata, tetapi di balik itu dia niat agar mendapatkan pahala di sisi Allah melalui pengorbanan dia dengan menjalankan kewajibannya sebagai istri.

5.  Semua anggota keluarganya seperti anak-anaknya, isteri dan suaminya beriman dan bertaqwa kepada Allah dan rasul-Nya (shaleh-shalehah). Artinya hukum-hukum Allah dan agama Allah terimplementasi dalam pergaulan rumah tangganya.

6.  Rizkinya selalu bersih dari yang diharamkan Allah SWT. Penghasilan suami sebagai tonggak berdirinya keluarga itu selalu menjaga rizki yang halal. Suami menjaga agar anak dan istrinya tidak berpakaian, makan, bertempat tinggal, memakai kendaraan, dan semua pemenuhan kebutuhan dari harta haram. Dia berjuang untuk mendapatkan rizki halal saja.

7.    Anggota keluarga selalu ridho terhadap anugrah Allah SWT yang diberikan kepada mereka. Jika diberi lebih mereka bersyukur dan berbagi dengan fakir miskin. Jika kekurangan mereka sabar dan terus berikhtiar. Mereka keluarga yang selalu berusaha untuk memperbaiki semua aspek kehidupan mereka dengan wajib menuntut ilmu-ilmu agama Allah SWT.

C.  Faktor-faktor Pembentuk Keluarga Sakinah 

a.    Landasan Agama
Dalam menganjurkan ummatnya untuk melakukan pernikahan, Islam tidak semata-mata beranggapan bahwa pernikahan merupakan sarana yang sah dalam pembentukan keluarga, bahwa pernikahan bukanlah semata sarana terhormat untuk mendapatkan anak yang sholeh, bukan semata cara untuk mengekang penglihatan, memelihara fajar atau hendak menyalurkan biologis, atau semata menyalurkan naluri saja. Sekali lagi bukan alasan tersebut di atas. Akan tetapi lebih dari itu Islam memandang bahwa pernikahan sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemayarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi ummat Islam.

D. Fungsi Keluarga Dalam Islam

 a. Penerus misi ummat Islam

Dalam sejarah dapat kita lihat, bagaimana Islam sanggup berdiri tegap dan tegar dalam menghadapi berbagai ancaman dan bahaya, bahkan Islam dapat menyapu bersih kekuatan musryik dan sesat yang ada, terlebih kekuatan Romawi dan Persia yang pada waktu itu merupakan Negara adikuasa di dunia. Menurut riwayat Abu Zar’ah Arrozi bahwa jumlah kaum muslimin ketika Rasulullah Saw wafat sebanyak 120.000 orang pria dan wanita. Para sahabat sebanyak itu kemudian berguguran dalam berbagai peperangan, ada yang syahid dalam perang jamal atau perang Shiffin. Namun sebagian besar dari para syuhada itu telah meninggalkan keturunan yang berkah sehingga muncullah berpuluh “singa” yang semuanya serupa dengan sang ayah dalam hal kepahlawanan dan keimanan. Kaum muslimin yang jujur tersebut telah menyambut pengarahan Nabi-nya: “Nikah-lah kalian, sesungguhnya aku bangga dengan jumlah kalian dari ummat lainnya, dan janganlah kalian berfaham seperti rahib nashrani”. Demikianlah, berlomba-lomba untuk mendapatkan keturunan yang bermutu merupakan faktor penting yang telah memelihara keberadaan ummat Islam yang sedikit. Pada waktu itu menjadi pendukung Islam dalam mempertahankan kehidupannya.

b. Perlindungan terhadap akhlaq

Islam memandang pembentukan keluarga sebagai sarana efektif memelihara pemuda dari kerusakan dan melidungi masyarakat dari kekacauan. Karena itulah bagi pemuda yang mampu dianjurkan untuk menyambut seruan Rosul. “Wahai pemuda! Siapa di antara kalian berkemampuan maka menikahlah. Karena nikah lebih melindungi mata dan farji, dan barang siapa yang tidak mampu maka hendaklah shoum, karena shoum itu baginya adalah penenang” (HR.AL-Khosah dari Abdullah bin Mas’ud).

c. Wahana pembentukan generasi Islam

Pembentukan generasi yang andal, utamanya dilakukan oleh keluarga, karena keluargalah sekolah kepribadian pertama dan utama bagi seorang anak. Penyair kondang Hafidz Ibrohim mengatakan: “Ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya. Bila engkau mendidiknya berarti engkau telah menyiapkan bangsa yang baik perangainya“. Ibu sangat berperan dalam pendidikan keluarga, sementara ayah mempunyai tugas yang penting yaitu menyediakan sarana bagi berlangsungnya pendidikan tersebut. Keluargalah yang menerapkan sunnah Rosul sejak bangun tidur, sampai akan tidur lagi, sehingga bimbingan keluarga dalam melahirkan generasi Islam yang berkualitas sangat dominan.

d. Memelihara status sosial dan ekonomi

Dalam pembentukan keluarga, Islam mempunyai tujuan untuk mewujudkan ikatan dan persatuan. Dengan adanya ikatan keturunan maka diharapkan akan mempererat tali persaudaraan anggota masyarakat dan antar bangsa. Untuk menjamin hubungan persudaraan yang akrab antara anak-anak satu agama, maka Islam menganjurkan dilangsungkannya pernikahan dengan orang-orang asing (jauh), karena dengan tujuan ini akan terwujud apa-apa yang tidak pernah direalisasikan melalui pernikahan keluarga dekat.
Selain fungsi sosial, fungsi ekonomi dalam berkeluarga juga akan nampak. Mari kita simak hadist Rosul “Nikahilah wanita, karena ia akan mendatangkan Maal” (HR. Abu Dawud, dari Urwah RA). Maksud dari hadist tersebut adalah bahwa perkawinan merupakan sarana untuk mendapatkan keberkahan, karena apabila kita bandingkan antara kehidupan bujangan dengan yang telah berkeluarga, maka akan kita dapatkan bahwa yang telah berkeluarga lebih hemat dan ekonomis dibandingkan dengan yang bujangan. Selain itu orang yang telah berkeluarga lebih giat dalam mencari nafkah karena perasaan bertanggung jawab pada keluarga daripada para bujangan.

e. Menjaga kesehatan

Ditinjau dari segi kesehatan, pernikahan berguna untuk memelihara para pemuda dari kebiasaan onani yang banyak menguras tenaga, dan juga dapat mencegah timbulnya penyakit kelamin.

f. Memantapkan spiritual (ruhiyyah)

Pernikahan berfungsi sebagai pelengkap, karena ia setengah dari keimanan dan pelapang jalan menuju sabilillah, hati menjadi bersih dari berbagai kecendrungan dan jiwa menjadi terlindung dari berbagai waswas.

Menegakkan Keluarga Sakinah sebagai Salah Satu Fungsi Keluarga

Selain fungsi keluarga tersebut di atas, fungsi kesakinahan merupakan kebutuhan setiap manusia. Karena keluarga sakinah yang berarti keluarga yang terbentuk dari pasangan suami istri yang diawali dengan memilih pasangan yang baik, kemudian menerapkan nilai-nilai Islam dalam melakukan hak dan kewajiban rumah tangga serta mendidik anak dalam suasana mawaddah wa rahmah. Sebagaimana dianjurkan Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang artinya: “Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ia ciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenang kepadanya dan dijadikannya diantaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya dalam hal ini terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang memikirkan” (QS. Ar-Ruum: 21).

Faktor-faktor pembentukan keluarga sakinah

A.     Faktor utama

Untuk membentuk keluarga sakinah, dimulai dari pranikah, pernikahan, dan berkeluarga. Dalam berkeluarga ada beberapa hal yang perlu difahami, antara lain:

1.      Memahami hak suami terhadap istri dan kewajiban istri terhadap suami
a.      Menjadikannya sebagai Qowwam (yang bertanggung jawab)
Suami merupakan pemimpin yang Allah pilihkan. Suami wajib ditaati dan dipatuhi dalam setiap keadaan kecuali yang bertentangan dengan syariat Islam.
b.      Menjaga kehormatan diri
Menjaga akhlak dalam pergaulan. Menjaga izzah suami dalam segala hal. Tidak memasukkan orang lain ke dalam rumah tanpa seizin suami
c.       Berkhidmat kepada suami
Menyiapkan dan melayani kebutuhan lahir batin suami. Menyiapkan keberangkatan. Mengantarkan kepergian. Suara istri tidak melebihi suara suami. Istri menghargai dan berterima kasih terhadap perlakuan dan pemberian suami.

2.      Memahami hak istri terhadap suami dan kewajiban suami terhadap istri
a.      Istri berhak mendapat mahar
b.      Mendapat perhatian dan pemenuhan kebutuhan lahir batin
Mendapat nafkah: sandang, pangan, papan. Mendapat pengajaran Diinul Islam. Suami memberikan waktu untuk memberikan pelajaran. Memberi izin atau menyempatkan istrinya untuk belajar kepada seseorang atau lembaga dan mengikuti perkembangan istrinya. Suami memberi sarana untuk belajar. Suami mengajak istri untuk menghadiri majlis ta’lim, seminar atau ceramah agama.
c.       Mendapat perlakuan baik, lembut dan penuh kasih sayang
Berbicara dan memperlakukan istri dengan penuh kelembutan lebih-lebih ketika haid, hamil dan paska lahir. Sekali-kali bercanda tanpa berlebihan. Mendapat kabar perkiraan waktu kepulangan. Memperhatikan adab kembali ke rumah.

B.     Faktor penunjang

1.      Realistis dalam kehidupan berkeluarga
Realistis dalam memilih pasangan. Realistis dalam menuntut mahar dan pelaksanaan walimahan. Realistis dan ridho dengan karakter pasangan. Realistis dalam pemenuhan hak dan kewajiban.

2.      Realistis dalam pendidikan anak
Penanganan Tarbiyatul Awlad (pendidikan anak) memerlukan satu kata antara ayah dan ibu, sehingga tidak menimbulkan kebingungan pada anak. Dalam memberikan ridho’ah (menyusui) dan hadhonah (pengasuhan) hendaklah diperhatikan muatan: Tarbiyyah Ruhiyyah (pendidikan mental); Tarbiyah Aqliyyah (pendidikan intelektual); Tarbiyah Jasadiyyah (pendidikan Jasmani).

3.      Mengenal kondisi nafsiyyah suami istri
4.      Menjaga kebersihan dan kerapihan rumah
5.      Membina hubungan baik dengan orang-orang terdekat
a.       Keluarga besar suami/istri
b.      Tetangga
c.       Tamu
d.      Kerabat dan teman dekat
6.      Memiliki ketrampilan rumah tangga
7.      Memiliki kesadaran kesehatan keluarga

C.     Faktor pemeliharaan

1.      Meningkatkan kebersamaan dalam berbagai aktifitas.
2.      Menghidupkan suasana komunikatif dan dialogis.
3.      Menghidupkan hal-hal yang dapat merusak kemesraan keluarga baik dalam sikap, penampilan maupun prilaku.

a.    Keseimbangan (Sekufu)

Antara memilih dan dipilih. Begitulah sesungguhnya hidup ini. Hal ini dikarenakan kehidupan manusia di dunia ini sering diwarnai sebuah proses pilihan hidup yang saling susul-menyusul, yang selalu hadir dalam dua buah kondisi: Memilih ataukah dipilih! Dan salah satu kenyataan hidup yang tak dapat kita hindari adalah keniscayaan untuk memilih calon suami atau istri sebagai pendamping hidupnya di dunia bahkan hingga di akhirat.

Masalah pertama yang harus diperhatikan

Dalam membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, pemilihan pasangan hidup merupakan pintu gerbang pertama yang harus dilewati secara benar sebelum masuk kepada lembaga keluarga Islami yang sesungguhnya, sehingga perjalanan selanjutnya menjadi lebih mudah dan indah untuk dilalui.
Karena itu ajaran Islam sangat menekankan sistem pemilihan pasangan hidup yang berpedoman kepada nilai-nilai Islam. Tujuannya agar lelaki yang shalih akan mendapatkan wanita yang shalihah, demikian pula sebaliknya. Allah berfirman:
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)” (QS. An Nuur: 26).

Mengapa kita harus selektif?

Kecermatan memilih pasangan hidup sangat menentukan keberhasilan perjalanan seorang hamba di dunia dan akhirat. Apalagi mengingat pernikahan merupakan bentuk penyatuan dari dua lawan jenis yang berbeda dalam banyak hal, keduanya tentu memiliki kebaikan dan keburukan yang tingkatannya juga berbeda satu sama lain.
Adalah menjadi suatu hak dan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah untuk mencari pendamping yang benar-benar akan membuka pintu kebaikan buat dirinya dan mengundang keridhaan dari Rabb-nya dan hal ini hanya dapat dicapai bila diawali proses pemilihan calon pasangan hidup yang selektif, yang dilandasi oleh semangat Islami sebagai dasar terjadinya suatu pernikahan. Karena, setelah pernikahan, tidak ada pilihan lagi buat kita, kecuali dua hal: mendapatkan ketenangan yang membahagiakan rumah tangga atau memperoleh kesengsaraan yang membinasakan.

Akibat salah memilih

Akibat salah dalam memilih pasangan hidup, banyak pasangan suami istri yang menghadapi kesulitan dan hidupnya malah tidak bahagia, bahkan perceraian dan gonta-ganti pasangan menjadi sesuatu yang sudah biasa dilakukan. Dewasa ini, begitu banyak kasus pertikaian di dalam sebuah keluarga, dari sekedar konflik yang berbentuk pertengkaran mulut sampai dengan penganiayaan fisik bahkan pembunuhan, yang disebabkan oleh kesalahan langkah awal dalam membentuk rumah tangga.
Iklim pergaulan di masyarakat kita yang memang cenderung permisif dan belum Islami, merupakan penyebab utama yang melahirkan pernikahan sebatas dorongan nafsu semata. Tolak ukur pencarian pasangan hidup jarang yang berorientasi pada nilai-nilai agama. Melainkan seringkali hanya sebatas keindahan fisik, melimpahnya materi dan mulianya status di masyarakat, atau bahkan hanya karena sudah terlanjur cinta yang telah menyebabkan mata hati menjadi buta terhadap kebaikan dan keburukan orang yang dicinta.
Apabila pernikahan terjadi hanya lantaran dorongan nafsu semacam itu, maka wajarlah jika banyak pasangan yang bertikai merasa kesulitan menyelesaikan permasalahan rumah tangga mereka secara Islami, lantaran proses pernikahan mereka terjadi begitu saja secara naluriah, tanpa ada landasan nilai-nilai ke-Islaman yang mengawali. Lalu bagaimana mungkin akan kembali kepada Qur’an dan Sunnah, sedangkan mereka dahulunya tidak berangkat dari keduanya? Maka memilih pasangan hidup atas dasar nilai-nilai Islam adalah sikap yang penting, dan berhati-hati dalam memilih pasangan hidup menjadi suatu keharusan bagi kita, camkanlah nasehat Luqman Al Hakim berikut ini:
Wahai anakku, takutlah terhadap wanita jahat karena dia membuat engkau beruban sebelum masanya. Dan takutlah wanita yang tidak baik karena mereka mengajak kamu kepada yang tidak baik, dan hendaklah kamu berhati-hati mencari yang baik dari mereka.” (Begitu pula untuk Wanita berhati-hatilah dalam mencari pasangan).

Siapa yang harus kita pilih?

Islam telah mengajarkan dengan cermat atas dasar apa kita harus memilih pasangan hidup kita:
Dinikahi wanita atas dasar empat perkara: karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya, dan karena agamanya. Barangsiapa yang memilih agamanya, maka beruntunglah ia.” (HR. al Bukhari dan Muslim).
Maka jelaslah bagi kita bahwa ada empat dasar dalam menentukan siapa yang layak untuk kita pilih menjadi pasangan hidup kita, yakhi kekayaan, keelokan, keturunan serta akhlak dan agama. Dan di antara semuanya, maka akhlak dan agama menjadi jaminan kedamaian dan kebahagiaan, sebaliknya pengabaian bahkan pengingkaran terhadap masalah ini akan menyebabkan fitnah dan kerusakan yang besar bagi para pelakunya. Alangkah indahnya memang bila kesemuanya terkumpul pada diri seseorang hamba Allah.

Pilih yang taqwa, baru yang lain

Yang pertama adalah perihal kekayaan
Hal ini memang utama, bahkan Rasulullah SAW adalah seorang dermawan yang paling banyak sedekahnya, tetapi pernikahan bukanlah sekedar transaksi perdagangan semata, bahkan Allah mengancam mereka yang menikah semata-mata karena mengharapkan kekayaan dengan kefakiran: “Barangsiapa yang menikahi wanita karena hartanya, Allah tidak akan menambahkannya kecuali kefakiran..” (HR. Ibnu Hibban).
Yang kedua adalah keelokan
Hal ini juga memang boleh-boleh saja dan menyukai keelokan memang fitrah manusia, bahkan Allah sendiri indah dan menyukai keindahan, tetapi pernikahan pun bukan sekedar kesenangan mata belaka. Sesungguhnya keelokan merupakan karunia Allah kepada hamba-Nya, yang kelak pasti akan diambil-Nya secara perlahan dengan bertambahnya usia sang hamba. Karena memang tidak ada keelokan yang berkekalan di dunia yang fana ini. “Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, sebab kecantikan itu akan lenyap dan janganlah kamu menikahi mereka karena hartanya, sebab harta itu akan membuat dia sombong. Akan tetapi nikahilah mereka karena agamanya, sebab seorang budak wanita yang hitam dan beragama itu lebih utama.” (HR. Ibnu Majah).
Dan ketiga adalah keturunan
Demikian pula hal ini juga sesuatu yang utama, tetapi pernikahan pun bukan sekedar kebanggaan silsilah yang justru bisa membawa kepada penyakit (ashobiyah). Bahkan Allah mengancam mereka yang menikahi seseorang hanya untuk mengejar keturunan, dengan memberikan kerendahan bukan kemuliaan. “Barangsiapa yang menikahi wanita karena keturunannya, Allah tidak akan menambahkan kecuali kerendahan…”(HR. Ibnu Hibban).
Terakhir yang keempat adalah akhlak dan agama
Inilah faktor yang paling utama, yang tidak boleh tidak, harus ada pada calon pasangan hidup kita. Semakin baik akhlak dan agama seseorang, maka seakan-akan semakin jelaslah kebahagiaan sebuah rumah tangga telah terbentang di hadapan kita. Akhlak dan agama di sini bukanlah sebatas ilmu dan retorika atau banyaknya hafalan di kepala, melainkan mencakup ucapan dan perbuatan sebagai cerminan dari hati seseorang yang telah melekat dalam kepribadiannya, dan inilah TAQWA yang sebenarnya!
Betapa beruntungnya menikah dengan hamba yang bertaqwa, karena ia pandai menghormati pasangan hidupnya dan sangat berhati-hati dari menzhaliminya, sebagaimana jawaban Hasan bin Ali ketika ada seseorang yang bertanya, “Aku mempunyai anak gadis, menurutmu kepada siapa aku harus menikahkannya?”, maka Hasan menjawab, “Nikahkanlah ia dengan lelaki yang bertaqwa kepada Allah. Jika lelaki itu mencintainya, maka ia akan menghormatinya, dan jika marah maka ia tidak akan menzhaliminya”. Dan sebaliknya penolakan terhadap lelaki atau wanita yang bertaqwa, bagaikan menolak kebaikan dan menggantinya dengan kerusakan. Simaklah kedua hadits berikut ini:
“Jika datang seorang laki-laki kepadamu (untuk melamar), sedang kau tahu ia baik akhlak dan agamanya lalu kau tolak, maka jadilah fitnah buatmu dan kerusakan yang besar,” (HR. Ibnu Majah).
Apabila telah datang kepadamu seorang wanita yang agama dan akhlaknya baik maka nikahilah dia. Jika engkau menikahi wanita bukan atas dasar agama dan akhlak, maka wanita itu akan menjadi fitnah dan menimbulkan kerusakan luas.”(HR. At Tirmidzi).
Akhirnya pernikahan yang ideal sesungguhnya merupakan keseimbangan dari semua faktor tersebut, dengan akhlak dan agama sebagai parameter yang paling penting, karena itu dalam memilih pasangan hidup, jangan sampai niatan kita hanya sekedar mencari kecantikan atau keturunan atau harta saja dengan meninggalkan kriteria taqwa, sehingga tidak ada keberkahan yang akan kita dapatkan dalam rumah tangga kita kelak.
“Barangsiapa yang menikahi wanita karena hartanya, Allah tidak akan menambahkannya kecuali kafakiran. Barangsiapa yang mengawini wanita karena untuk memejamkan pandangannya, menjaga kemaluannya serta menjalin tali persaudaraan, niscaya Allah memberkahinya.” (HR. Ibnu Hibban). 

Mempersempit pilihan untuk keutamaan

Tidak jarang seseorang dihadapkan pada sekian banyak pilihan pasangan hidup yang dari segi akhlak dan agama sama dan setaraf, apalagi masalah di dalam ketaqwaan seseorang memang sulit untuk dideteksi dalam waktu yang singkat. Maka untuk mencari sebuah keutamaan, pilihan kadang memang perlu dipersempit, sebab semakin banyak pilihan maka akan semakin sulit bagi kita untuk memilih yang terbaik. Dan menurut kacamata agama yang tentunya selalu selaras dengan fitrah dan naluriah seorang insan. Ada beberapa keutamaan yang bisa dipertimbangkan dalam memilih pasangan hidup.

1.    Pilihan yang sekufu

Pilihlah wanita-wanita yang akan melahirkan anak-anakmu dan nikahilah wanita yang sekufu (sederajat) dan nikahlah dengan mereka.” (HR. Ibnu Majah, Al Hakim, dan Al Baihaqi).
Al Kafa’ah merupakan masalah kesesuaian dan kesamaan antara pasangan pernikahan yang dianggap paling mendekati, seperti pertimbangan akan masalah: usia, garis keturunan, kehormatan, profesi, atau tingkat pendidikan. Para ulama menyarankan agar laki-laki idealnya menikah dengan wanita yang setingkat dengannya atau di bawahnya, sedangkan seorang wanita sebaiknya menikah dengan laki-laki yang mempunyai tingkatan yang sama atau di atasnya.
Tetapi penting untuk dipahami, bahwa tingkat kesamaan sosial ini bukanlah merupakan syarat mutlak dalam sebuah proses pernikahan, karena Islam sendiri adalah agama tanpa kelas, yang menyamakan kedudukan semua hambanya, terkecuali dari ketakwaanya.
Kalaupun ia menjadi sebuah pertimbangan, adalah semata-mata sebagai tindakan kehati-hatian, agar kelak tidak ada penyesalan dikemudian hari yang akhirnya bisa lebih menyakitkan, karena sesungguhnya hati manusia itu memang sering labil dan mudah berubah-ubah. Dan masalah ini, sebenarnya merupakan tata cara kebijaksanaan duniawi yang masih bisa disepakati bila ada persetujuan diantara kedua belah pihak.

2.    Memilih yang penuh kasih sayang dan subur

“Nikahilah wanita-wanita yang penuh kasih dan banyak memberikan keturunan (subur) sebab aku akan bangga dengan banyaknya ummat di hari kiamat kelak” (HR. Ahmad).
Hamba yang penuh kasih dan mengasihi adalah hamba yang memiliki nada perasaan (afek) yang halus serta emosi yang terkendali. Kita dapat mengenali apakah seseorang termasuk kriteria ini melalui ucapan, perbuatan ataupun tatapan mata, baik di kala ia gembira maupun kecewa, yang kesemuanya itu dapat memberikan gambaran tentang bagaimana kepribadian dan isi hati yang dimilikinya. Apakah dipenuhi kelembutan dan kasih sayang? Ataukah dipenuhi kekasaran, kebencian dan kepalsuan?
Sementara itu mereka secara mudahnya dapat kita ketahui dari berapa jumlah saudara atau keluarganya yang terdekat, atau dari jenis penyakit penghambat keturunan yang diderita dirinya ataupun saudaranya dan keluarganya yang terdekat.

33. Memilih kerabat yang jauh

Nasihat Rasulullah SAW: “Janganlah kalian menikahi kerabat dekat, sebab dapat berakibat melahirkan keturunan yang lemah akal dan fisik.” Dan selain untuk menjaga kualitas keturunan dari penyakit bawaan, menikahi mereka yang berasal jauh dari keluarga kita akan menambah ikatan kekerabatan dengan orang lain, serta memberikan kebahagiaan sendiri bila harus berpergian jauh untuk saling silaturahim.

4.      Memilih para gadis

“Nikahilah para gadis sebab ia lebih lembut mulutnya, lebih lengkap rahimnya, dan tidak berfikir untuk menyeleweng, serta rela dengan apa yang ada di tanganmu.” (HR. Ibnu Majah. Al Baihaqi dari Uwaimir bin Saidah).
Pernikahan dengan yang masih gadis lebih utama daripada janda, karena dapat membuat hubungan lebih erat dan menyatu, mereka lebih mudah digoda dan bercanda serta bersenang-senang, lebih setia dan menerima, serta lebih sedikit beban mental dan psikologisnya bagi kita. Semua ini mempunyai kesan dan kenikmatan tersendiri di dalam menambah keindahan rumah tangga.

b.    Cinta Kasih

Suatu hal yang tidak boleh dilupakan dalam memilih calon istri adalah hendaknya dia adalah wanita yang dicintai dan menerima cinta atau mencintai calon suami. Karena wanita yang dicintai inilah tentunya yang paling ideal dan paling disenangi oleh calon suami. Sebagaimana Allah SWT sendiri memerintahkan agar kita menikah dengan wanita yang menyenangkan atau yang kita senangi. Firmannya: “...Maka menikahlah dengan wanita yang menyenangkan hati kalian!...” (QS an-Nisa ayat 3).
Pada dasarnya, cinta adalah hal yang amat misteri dan amat suci. Kadang-kadang kita sendiri kesulitan mendeteksi dari mana asalnya cinta, yang tiba-tiba telah tumbuh dalam diri kita. Tanpa diduga sebelumnya, tiba-tiba muncul dan jatuh pada seseorang (lawan jenis). Padahal mungkin secara nalar tidak masuk akal. Bisa saja pemuda tampan justru jatuh cinta kepada gadis yang buruk rupa. Tidak mustahil gadis bangsawan nan rupawan justru tergila-gila kepada pemuda desa yang tidak tergolong tampan. Tidak sedikit pengusaha muda yang sukses justru cintanya tertambat pada karyaatinya yang rendah jabatanya, dan seterusnya.
Itulah gambaran tentang misteri sebuah cinta. Hal ini menunjukan bahwa cinta itu datangnya tentu dari Yang Maha Suci. Oleh karena itu, maka apabila cinta itu benar-benar muncul dari relung hatinya yang amat dalam; niscaya dapat dipastikan bahwa cinta itu adalah suci adanya.
Menyadari akan misteri dan sucinya sebuah cinta, maka para remaja muslim hendaklah bersikap arif dalam menghadapinya. Ketika perasaan cinta datang menghampiri, seyogyanya segera dikonfirmasikan kepada Sang Pemberi Cinta itu sendiri, yakni dengan jalan melakukan shalat istikharah. Selain itu juga tidak boleh lupa untuk segera mempertimbangkanya dengan perenungan yang sejernih mungkin, sesuai dengan ajakan Islam atau tidak.
Jika menurut berbagai pertimbangan, wanita itu benar-benar ideal, dan hasil dari konfirmasi terhadap Allah (shalat istikharah) pun menunjukan tanda-tanda positif, maka langkah berikutnya ialah menjajagi perihal wanita tersebut untuk kemudian meminang dan menikahinya.

c.    Komitmen Perkawinan

Penting untuk memahami arti sebuah komitmen perkawinan. Selama ini komitmen perkawinan dipahami sebatas tingkat keinginan seseorang untuk bertahan dalam perkawinannya. Padahal menurut Michael P. Johnson, penggagas teori komitmen perkawinan dari The Pennsylvania State University, komitmen perkawinan perlu dipahami dalam tiga bentuk, yaitu:

1.    Komitmen personal, yaitu keinginan untuk bertahan karena cinta terhadap pasangan dan perasaan puas terhadap hubungan itu sendiri.
2.   Komitmen moral, yaitu rasa bertanggung jawab secara moral baik terhadap pasangan maupun janji perkawinan.
3.    Komitmen struktural yang berbicara mengenai komitmen untuk bertahan dalam suatu hubungan karena alasan-alasan struktural seperti yang disebutkan di atas.

Meskipun Johnson menganggap ketiga komitmen ini dapat berdiri sendiri, adalah menarik untuk melihat kaitannya satu sama lain. Meminjam istilah Johnson, orang-orang yang sekedar bertahan karena alasan-alasan yang disebutkan di atas adalah orang yang memiliki komitmen moral dan struktural yang tinggi, namun komitmen personalnya rendah. Komitmen moral dan struktural memegang peranan kunci ketika seseorang hendak memutuskan untuk bercerai. Kedua komitmen tersebut dapat membuat pasangan menghindari perceraian, namun memiliki keduanya tidak menjamin kebahagiaan perkawinan.
Kedua komitmen tersebut hanya menurunkan probabilitas terpilihnya perceraian sebagai suatu solusi. Orang yang memiliki keduanya tetapi tidak memiliki komitmen personal, akan mengeluhkan betapa kering perkawinan mereka. Perkawinan ini juga lebih rawan akan konflik. Ditambah dengan tidak adanya lagi rasa tertarik terhadap hubungan dan pasangan, masing-masing dapat kehilangan minat untuk menyelesaikan konflik tersebut. Akhirnya pasangan ini menjadi rentan terhadap perselingkuhan.
Perkembangan teknologi yang mendukung seperti telepon genggam dan internet semakin membuka akses ke arah perselingkuhan. Ada yang ‘sekedar’ selingkuh emosional seperti misalnya chatting di internet atau ber-sms ria. Orang yang melakukan selingkuh jenis ini biasanya tidak menyadari bahwa mereka telah berselingkuh. Padahal perselingkuhan ini dapat meningkat menjadi perselingkuhan jenis romantik, yang melibatkan cinta mendalam disertai hubungan seksual. Umumnya mereka yang melakukannya akan sulit untuk menghentikan perselingkuhan.
Perselingkuhan yang intens semacam ini dapat merusak perkawinan. Pada orang-orang dengan komitmen struktural rendah, perselingkuhan dapat langsung mengakhiri perkawinan. Pada orang yang memiliki komitmen struktural tinggi, umumnya cenderung memilih untuk memperbaiki perkawinan. Namun membangun kembali kepercayaan pasca perselingkuhan bukan hal yang mudah. Dampak perselingkuhan akan tetap terasa dalam jangka panjang. Membutuhkan kemampuan untuk melupakan dan memaafkan agar perkawinan dapat kembali normal.
Pada budaya tertentu yang mengizinkan poligami, komitmen personal yang rendah menjadi salah satu faktor pendorongnya. Di negara kita poligami hanya dapat dilakukan oleh laki-laki. Atau lebih spesifik dapat dikatakan sebagai poligini, yaitu suami memiliki banyak istri. Di India, khususnya di wilayah Ladakh dan Lahaul, hukum membolehkan poliandri, yaitu seorang istri memiliki beberapa suami. Menurut Frank Pittman, seorang terapis keluarga, poligami dengan dasar ketidakpuasan terhadap pasangan, merupakan salah satu bentuk ketidaksetiaan yang tergolong sebagai pengaturan perkawinan (marital arrangements). Salah satu bentuk lain dari marital arrangements yang sedang beken di kalangan selebriti kita adalah kawin siri. Kawin siri berasal dari kata Syr, yang artinya sembunyi. Jadi perkawinan siri adalah perkawinan tanpa saksi karena tidak ingin diketahui orang lain, terutama pihak istri pertama.
Oleh karena itu komitmen personal menempati posisi terpenting, yang seharusnya dimiliki setiap pasangan. Karena seseorang yang puas dengan kehidupan perkawinannya, akan lebih mungkin untuk berkomitmen dengan perkawinannya. Hal ini terlepas dari tinggi rendahnya komitmen struktural yang mereka miliki. Tiap pasangan seyogianya lebih mawas diri (aware) terhadap jenis komitmen yang mereka miliki. Karena tidak ada atau rendahnya kepuasan dan cinta terhadap pasangan dapat membuat seseorang mencarinya di luar perkawinan. Karena itu perselingkuhan sebenarnya bukan penyebab masalah dalam perkawinan, tetapi lebih menjadi sinyal bahwa telah ada yang salah dengan perkawinan itu.
Dengan demikian, komitmen personal tentunya perlu dijaga untuk membangun perkawinan yang bebas affair. Menjaga komitmen personal berarti menjaga kepuasan hubungan. Kepuasan bersifat subjektif dan tergantung dari masing-masing pasangan. Oleh karena itu kita butuh memahami keinginan pasangan dan menyesuaikan diri satu sama lain. Untuk itu perlu menjalin komunikasi dua arah, mendiskusikan perbedaan, dan mendengarkan penuh empati. Disertai dengan respek satu sama lain, dan dilengkapi dengan rasa percaya.
Bagian yang tersulit dari menjaga komitmen personal adalah menjaga agar cinta terhadap pasangan tetap menyala. Jatuh cinta selalu melipatgandakan semangat dan membuat hidup terasa lebih indah. Sayangnya sebagaimana yang dikatakan  Thomas Moore, cinta membawa kita kepada pernikahan namun akhirnya pernikahanlah yang memadamkan cinta tersebut.

Beberapa kiat berikut ini mungkin dapat bermanfaat:
 
a)      Senantiasa mawas diri jikalau mulai jenuh dengan pasangan.

b)      Terus berusaha mencari sisi positif yang dimiliki pasangan.

c)      Saat melihat kekurangan pasangan, cobalah mengingat apa yang pernah membuat kita jatuh cinta dengan pasangan. Apa yang tidak kita sukai saat ini dari pasangan bisa jadi dulunya merupakan hal yang telah membuat kita jatuh cinta. Misalkan saat ini kita menganggapnya terlalu mengatur. Padahal tadinya kita menikahinya karena ketegasannya. Sekarang kita bosan karena ia terlalu sering berkaca. Padahal tadinya kita jatuh cinta karena ia tampil menarik.

d.    Komunikasi Efektif

Kehidupan memposisikan suami maupun istri dalam peran yang bermacam-macam, tapi kemudian masing-masing cenderung kepada keinginan dan kepentingannya sediri. Dan ketika masing-masing bersikeras dengan kecenderungan dan kepentingannya itu maka kerapkali susana rumah tangga memanas. Perlu diingat kalaupun ada pihak yang menang atau kalah, itu bukan berarti permasalahan rumah tangga itu menjadi dingin. Itu hanya penundaan yang suatu saat akan memuncak dan meledak.
Penyelesaian yang baik dan rasional adalah dengan berbicara agar keutuhan rumah tangga bisa dipertahankan. Banyak kasus ketika bicara baik-baik itu penting. Misalnya, ketika seorang istri yang sebelumnya tidak bekerja, kemudian ingin bekerja karena merasa anak-anak sudah cukup dewasa. Ketika suami memutuskan untuk bekerja ke luar negeri, sementara istri tidak menginginkan suaminya meninggalkan keluarga. Ketika istri menginginkan agar ibunya tinggal serumah dengannya, padahal adik-adiknya masih ada dan, menurut suami, merekalah yang berhak untuk mengurusnya. Ketika suami ingin menikah lagi dan istri melihat itu akan berdampak buruk terhadap kehidupannya. Dan masih banyak contoh lainnya.
Penggunaan istilah ‘berbicara baik-baik’ rasanya memang kurang enak bagi telinga sebagian orang, karena mengesankan ada hubungan yang erat dengan perselisihan dan pertengkaran. Istilah ini tidak punya konteks politis, tapi lebih merupakan menejemen hubungan suami-istri dengan cara yang rapi, tidak sembrono dengan tetap mengedepankan kemaslahatan semua pihak. Itu artinya niat untuk berbicara harus muncul dari kesadaran kedua belah pihak, bahwa mereka memiliki suatu kesatuan yang menyatu dan tidak terpisahkan. Alternatif ini merupakan cara untuk menyeimbangkan hak-hak dan kewajiban, yang merupakan salah satu bentuk penyelesaian yang berdasarkan ketentuan syari’at Islam yang prinsipnya adalah cinta dan kasih sayang.

Menyiapkan diri sebelum membicarakan persoalan rumah tangga dengan pasangannya:
 
1.   Yang penting adalah mempersiapkan apa saja yang akan dibicarakan dan cara yang bagaimana yang bisa memuaskan pasangannya.
2.      Tidak terlalu menuntut merupakan hal yang penting untuk mewujudkan pembicaraan yang berhasil, tetapi bukan semua tuntutannya terpenuhi.
3.   Berbicara terkadang mengharuskan membuka kembali kenangan lama agar bisa sampai kepada penyelesaiannya, karena salah satu pihak akan rugi demi seimbangnya kembali hubungan suami-isteri. Contohnya: ketika suami mengizinkan isteri bekerja, maka suami pun harus rela menanggung beban tugas rumah tangga lebih besar daripada sebelumnya. Dalam hal ini penting sekali untuk menimbang secara matang memberikan prioritasnya.