Manusia sesuai dengan kodratnya adalah
makhluk yang unik. Manusia adalah makhluk biologis dan psikologis, juga sebagai
makhluk sosial sekaligus sebagai makhluk spiritual. Sebagai makhluk biologis
manusia memiliki kebutuhan vital untuk makan, minum, istirahat dan seks yang
tidak dapat ditinggalkan. Untuk pemenuhan ini manusia memiliki kemampuan untuk memilih.
Tidak sembarangan makanan dan minuman akan dimakan dan diminum, tidak dapat sesaat
kebutuhan seks yang muncul harus dipenuhi. Manusia bertingkah laku untuk
memenuhi kebutuhan biologisnya, karena merupakan faktor pendorong yang penting
dalam kehidupan perkawinan seperti keinginan untuk memiliki keturunan, dan
memenuhi kebutuhan seksualnya.
Dalam perkawinan selain memenuhi
kebutuhan biologisnya manusia juga membutuhkan kasih sayang dari orang lain,
sehingga dalam memenuhi kebutuhanya tersebut manusia harus berinteraksi dengan
sesama manusia lain. Sebagai makhluk individu, manusia lebih ingin memenuhi
segala kebutuhan pribadinya, dan sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk
lebih mengabdi pada keinginan orang lain dan lingkungannya. Semakin besar
kesenjangan kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, maka semakin
besar usaha dibutuhkan untuk memenuhi keseimbangan diri (Equilibrium)
tersebut. Jika upaya penyesuaian diri ini gagal dipenuhi maka individu akan
mengalami gangguan, baik berupa gangguan fisik, psikologis dan sosial, sehingga
dalam kehidupan interaktifnya dengan orang lain tidak harmonis.
Awal menikah atau ketika sedang jatuh
cinta pasangan acapkali merasa cintanya akan terus menggairahkan. Perkawinan
sekalipun diawali dengan cinta yang menggebu bukanlah merupakan jaminan bahwa
cinta tersebut tidak akan pudar, cinta seringkali mengalami pasang surut,
terlebih lagi untuk jangka panjang dan melalui berbagai pergumulan. Di dalam
perkawinan juga dituntut adanya kesediaan dua manusia menjalin relasi dengan
konsekuensi komitmen permanen. Perkawinan juga menuntut kesediaan kedua
pasangan saling berbagi karena tidak mungkin interelasi untuk mempertahankan
perkawinan dilakukan hanya satu pasangan, sejauh apapun dia mengusahakan. Pada
awal perkawinan, sebaiknya setiap pasangan suami-istri yang menikah harus
melakukan komitmen perkawinan, karena merupakan kekuatan utama dalam
perkawinan, dengan berkomitmen pasangan suami-istri yang menikah harus
menjaganya agar tetap berada di jalurnya, penyebab komitmen perkawinan pada
setiap pasangan suami-istri berbeda-beda antara satu dengan yang lain yaitu
kepribadian tiap pasangan, kedewasaan setiap pasangan, sikap dua orang pasangan
terhadap lembaga perkawinan, kualitas cinta yang dimiliki oleh pasangan dan,
kepuasan pasangan terhadap perkawinannya.
Cinta adalah emosi yang paling
diinginkan oleh setiap manusia, sebagai contoh, ada yang menjadi rajin kuliah
karena ingin bertemu seseorang yang disukai, ada yang rela menghabiskan waktu
berjam-jam hanya untuk mengamati pujaan hatinya hingga ada yang mencoba
mengakhiri hidupnya karena putus cinta. Cinta sangat memerlukan keterbukaan
diri antar pasangan, apalagi pasangan suami-istri yang yang mengarungi
perkawinan dengan komitmen. Noller dan Fitz Pattrick (1993) mengaitkan
keterbukaan diri dengan hubungan suami-istri, bahwa keterbukaan diri adalah
bagian dari kemesraan hubungan antara suami dan istri karena dalam hubungan
yang mesra pasangan dapat menerima pengakuan diri pasanganya dan memberikan
tanggapan yang hangat dan simpatik pada pasanganya. Keterbukaan diri tidak
hanya terbuka pada perasaan-perasaan positif saja tetapi juga perasaan negatif.
Permasalahannya di sini adalah dalam perkawinan tidak semua pasangan suami-istri
memiliki komitmen yang kuat. Akibatnya akan menimbulkan persoalan atau konflik
dalam kehidupan pasangan tersebut bahkan lebih parah akan menimbulkan
perceraian. Seperti salah satu dari keluarga yang menerangkan bahwa kehidupan
keluarganya mulai terombang-ambing, dimana seorang istri sudah mulai jengkel
ketika bercerita bahwa suaminya sering pulang malam, rajin ke kantor tetapi
pulang telat, suka marah-marah dirumah, dan seolah menjaga jarak, kurang
komunikasi, banyak menyimpan rahasia, padahal seharusnya terbuka dengan
pasanganya.
Dan berangkat dari situ lah keluarga
sakinah menghidupkan suasana yang lama terasa hambar dalam pernikahan,
membangkitkan cinta yang tadinya sudah layu, membasahi hati yang sudah menjadi
kering, menuai keharmonisan demi keharmonisan di tiap atmosfer para penghuni
rumah tangganya. Kecintaan yang berlandaskan agama, menjaga cinta dan kesucian
masing-masing pasangan di bawah naungan Al-Rohiim (Yang Maha Pengasih), menikah
dikarenakan tujuan yang benar mengupayakan tuntunan syari’at, menjadikan kasih
sayang dan bentuk-bentuk perhatian sebagai pahala, komitmen perkawinan yang
kuat, serta komunikasi yang efektif, hal-hal itulah yang diutamakan dapat
membawa keseimbangan nuansa harmonis dan hawa sakinah yang menjadikan cinta
selalu menyala dalam hati kedua pasangan, kesetiaan yang mengikat kokohnya
sebuah komitmen, itu semua sangat penting dalam menentramkan keutuhan
perkawinan. Sehingga cinta dan segala apapun yang mendasari utuhnya hidup rumah
tangga tidak lagi hanya mawaddah tapi
juga selalu diiringi rasa rahmah yang
jalannya searah dengan pencarian ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
penyempurnaan agama yang separuhnya sudah dipenuhi karena terjalinnya sebuah
pernikahan antara kedua insan.
A. Konsep Keluarga
Sakinah
Hukum
keluarga dalam masyarakat muslim kontemporer, baik di negara-negara muslim
maupun negara-negara yang penduduknya beragama Islam, sangat menarik untuk
dikaji, sebab, di dalam hukum keluarga Islam terdapat jiwa wahyu Ilahi dan
sunnah Rasulullah atau dalam qanun (perundang-undangan)-Nya senantiasa
dilandaskan pada firman Allah SWT. (Al-Qur’an) dan sabda Rasulullah (Hadits).
Keluarga
sakinah merupakan dambaan sekaligus harapan bahkan tujuan insan, baik yang akan
ataupun yang tengah membangun rumah tangga. Sehingga tidaklah mengherankan,
jika di kota-kota besar pada sekarang ini membincangkan konsep keluarga sakinah
merupakan kajian yang menarik dan banyak diminati oleh masyarakat. Sehingga
penyajiannya pun beragam bentuk; mulai dari sebuah diskusi kecil, seminar, dan
lokakarya hingga privat. Terlepas apakah masalah keluarga sakinah ini menarik
atau tidak menarik untuk dikaji, namun yang pasti membentuk keluarga sakinah
sangat penting dan bahkan merupakan tujuan yang dicapai bagi setiap orang yang
akan membina rumah tangga, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat
21: Islam menginginkan pasangan suami isteri yang telah atau akan membina suatu
rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin
keharmonisan di antara suami isteri yang saling mengasihi dan menyayangi itu
sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya. Ada tiga kunci
yang disampaikan Allah SWT dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan
rumah tangga yang ideal menurut Islam, yaitu: 1) Sakinah (as-sakinah), 2) Mawadah (al-mawaddah),
dan 3) Rahmah (ar-rahmah).
Secara
harfiyah (etimologi) sakinah diartikan ketenangan, ketentraman dan kedamaian
jiwa. Kata ini dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak enam kali dalam ayat-ayat
tersebut dijelaskan bahwa sakinah itu didatangkan Allah SWT ke dalam hati para
nabi dan orang-orang yang beriman. Ali bin Muhammad Al-Jurjani mendefinisikan
sakinah adalah adanya ketentraman dalam hati pada saat datangnya sesuatu yang
tidak terduga, dibarengi satu nur (cahaya) dalam hati yang memberi ketenangan
dan ketentraman. Adapun menurut Muhammad Rasyid Ridha bahwa sakinah adalah
sikap jiwa yang timbul dari suasana ketenangan dan merupakan lawan dari
kegoncangan bathin dan ketakutan.
Ulama
tafsir menyatakan bahwa sakinah dalam ayat tersebut adalah suasana damai yang
melingkupi rumah tangga dimana masing-masing pihak (suami-isteri) menjalankan
perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Dari
suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi
(al-mawaddah), sehingga rasa bertanggung jawab kedua belah pihak semakin
tinggi.
Sehingga
ungkapan Rasulullah SAW “Baitii jannatii”,
rumahku adalah surgaku, merupakan ungkapan tepat tentang bangunan rumah tangga
atau keluarga ideal. Dimana dalam pembangunannya mesti dilandasi fondasi kokoh
berupa Iman, kelengkapan bangunan dengan Islam, dan pengisian ruang
kehidupannya dengan Ihsan, tanpa mengurangi kehirauan kepada tuntutan kebutuhan
hidup sebagaimana layaknya manusia tak lepas dari hajat keduniaan, baik yang
bersifat kebendaan maupun bukan.
Keluarga
sakinah, mawaddah, wa rahmah, merupakan suatu keluarga dambaan bahkan merupakan
tujuan dalam suatu perkawinan dan sakinah itu didatangkan Allah SWT ke dalam
hati para nabi dan orang-orang yang beriman, maka untuk mewujudkan keluarga
sakinah harus melalui usaha maksimal, baik melalui usaha bathiniah (memohon
kepada Allah SWT), maupun berusaha secara lahiriah (berusaha untuk memenuhi
ketentuan baik yang datangnya dari Allah SWT dan Rasul-Nya, maupun peraturan
yang dibuat oleh para pemimpin dalam hal ini pemerintah berupa peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku).
B.
Ciri-ciri
Keluarga Sakinah
1.
Menurut hadis Nabi, pilar keluarga
sakinah itu ada lima, yaitu:
a.
Memiliki kecenderungan kepada agama.
b.
Yang muda menghormati yang tua dan
yang tua menyayangi yang muda.
c.
Sederhana dalam belanja.
d.
Santun dalam bergaul.
e.
Selalu introspeksi.
Dalam hadis Nabi juga disebutkan bahwa: ada “empat hal akan menjadi faktor
yang mendatangkan kebahagiaan keluarga (arba`un
min sa`adat al mar’i)”, yakni:
a.
Suami/isteri yang setia
(saleh/salehah).
b.
Anak-anak yang berbakti.
c.
Lingkungan sosial yang sehat.
d.
Dekat rizkinya.
2. Hubungan antara suami-isteri harus
atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan yang dipakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,
Q/2:187). Fungsi pakaian ada tiga, yaitu:
a)
Menutup aurat.
b)
Melindungi diri dari panas-dingin.
c)
Perhiasan.
Suami
terhadap isteri dan sebaliknya harus memfungsikan diri dalam tiga hal tersebut.
Jika isteri mempunyai suatu kekurangan, suami tidak menceriterakan kepada orang
lain, begitu juga sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau
membawa ke dokter, begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil
membanggakan suami, suami juga harus tampil membanggakan isteri, jangan
terbalik jika saat keluar rumah istri atau suami tampil menarik agar dilihat
orang banyak. Sedangkan giliran ada di rumah suami atau istri berpakaian seadanya,
tidak menarik, awut-awutan, sehingga pasangannya tidak menaruh simpati
sedikitpun padanya. Suami-isteri saling menjaga penampilan pada masing-masing
pasangannya.
3. Suami isteri dalam bergaul memperhatikan
hal-hal yang secara sosial dianggap patut (ma`ruf),
tidak asal benar dan hak, Wa`a syiruhunna
bil ma`ruf (Q/4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya
harus memperhatikan nilai-nilai ma`ruf. Hal ini terutama harus diperhatikan
oleh suami-isteri yang berasal dari kultur yang menyolok perbedaannya.
4. Suami istri secara tulus menjalankan
masing-masing kewajibannya dengan didasari keyakinan bahwa menjalankan
kewajiban itu merupakan perintah Allah SWT yang dalam menjalankannya harus
tulus ikhlas. Suami menjaga hak istri dan istri menjaga hak-hak suami. Dari
sini muncul saling menghargai, mempercayai, setia, dan keduanya terjalin
kerjasama untuk mencapai kebaikan di dunia ini sebanyak-banyaknya melalui
ikatan rumah tangga. Suami menunaikan kewajiabannya sebagai suami karena
mengharap ridho Allah. Dengan menjalankan kewajiban inilah suami berharap agar
amalnya menjadi berpahala di sisi Allah SWT. Sedangkan isteri, menunaikan
kewajiban sebagai isteri seperti melayani suami, mendidik anak-anak, dan lain
sebagainya juga berniat semata-mata karena Allah SWT. Kewajiban yang
dilakukannya itu diyakini sebagai perintah Allah, tidak memandang karena
cintanya kepada suami semata, tetapi di balik itu dia niat agar mendapatkan
pahala di sisi Allah melalui pengorbanan dia dengan menjalankan kewajibannya
sebagai istri.
5. Semua anggota keluarganya seperti
anak-anaknya, isteri dan suaminya beriman dan bertaqwa kepada Allah dan
rasul-Nya (shaleh-shalehah). Artinya hukum-hukum Allah dan agama Allah
terimplementasi dalam pergaulan rumah tangganya.
6. Rizkinya selalu bersih dari yang diharamkan
Allah SWT. Penghasilan suami sebagai tonggak berdirinya keluarga itu selalu
menjaga rizki yang halal. Suami menjaga agar anak dan istrinya tidak
berpakaian, makan, bertempat tinggal, memakai kendaraan, dan semua pemenuhan
kebutuhan dari harta haram. Dia berjuang untuk mendapatkan rizki halal saja.
7. Anggota keluarga selalu ridho terhadap
anugrah Allah SWT yang diberikan kepada mereka. Jika diberi lebih mereka
bersyukur dan berbagi dengan fakir miskin. Jika kekurangan mereka sabar dan
terus berikhtiar. Mereka keluarga yang selalu berusaha untuk memperbaiki semua
aspek kehidupan mereka dengan wajib menuntut ilmu-ilmu agama Allah SWT.
C.
Faktor-faktor
Pembentuk Keluarga Sakinah
a. Landasan
Agama
Dalam menganjurkan ummatnya untuk melakukan pernikahan, Islam tidak
semata-mata beranggapan bahwa pernikahan merupakan sarana yang sah dalam
pembentukan keluarga, bahwa pernikahan bukanlah semata sarana terhormat untuk
mendapatkan anak yang sholeh, bukan semata cara untuk mengekang penglihatan,
memelihara fajar atau hendak menyalurkan biologis, atau semata menyalurkan
naluri saja. Sekali lagi bukan alasan tersebut di atas. Akan tetapi lebih dari
itu Islam memandang bahwa pernikahan sebagai salah satu jalan untuk
merealisasikan tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek
kemayarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh mendasar terhadap
kaum muslimin dan eksistensi ummat Islam.
D. Fungsi
Keluarga Dalam Islam
a.
Penerus misi ummat Islam
Dalam sejarah dapat kita lihat, bagaimana Islam
sanggup berdiri tegap dan tegar dalam menghadapi berbagai ancaman dan bahaya,
bahkan Islam dapat menyapu bersih kekuatan musryik dan sesat yang ada, terlebih
kekuatan Romawi dan Persia yang pada waktu itu merupakan Negara adikuasa di
dunia. Menurut riwayat Abu Zar’ah Arrozi bahwa jumlah kaum muslimin ketika
Rasulullah Saw wafat sebanyak 120.000 orang pria dan wanita. Para sahabat
sebanyak itu kemudian berguguran dalam berbagai peperangan, ada yang syahid
dalam perang jamal atau perang Shiffin. Namun sebagian besar dari para syuhada
itu telah meninggalkan keturunan yang berkah sehingga muncullah berpuluh
“singa” yang semuanya serupa dengan sang ayah dalam hal kepahlawanan dan
keimanan. Kaum muslimin yang jujur tersebut telah menyambut pengarahan
Nabi-nya: “Nikah-lah kalian, sesungguhnya aku bangga dengan jumlah kalian dari
ummat lainnya, dan janganlah kalian berfaham seperti rahib nashrani”. Demikianlah,
berlomba-lomba untuk mendapatkan keturunan yang bermutu merupakan faktor
penting yang telah memelihara keberadaan ummat Islam yang sedikit. Pada waktu
itu menjadi pendukung Islam dalam mempertahankan kehidupannya.
b.
Perlindungan terhadap akhlaq
Islam memandang pembentukan keluarga sebagai sarana
efektif memelihara pemuda dari kerusakan dan melidungi masyarakat dari
kekacauan. Karena itulah bagi pemuda yang mampu dianjurkan untuk menyambut
seruan Rosul. “Wahai pemuda! Siapa di antara kalian berkemampuan maka
menikahlah. Karena nikah lebih melindungi mata dan farji, dan barang siapa yang
tidak mampu maka hendaklah shoum, karena shoum itu baginya adalah penenang” (HR.AL-Khosah
dari Abdullah bin Mas’ud).
c.
Wahana pembentukan generasi Islam
Pembentukan generasi yang andal, utamanya dilakukan
oleh keluarga, karena keluargalah
sekolah kepribadian pertama dan utama bagi seorang anak. Penyair kondang
Hafidz Ibrohim mengatakan: “Ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya. Bila engkau
mendidiknya berarti engkau telah menyiapkan bangsa yang baik perangainya“. Ibu
sangat berperan dalam pendidikan keluarga, sementara ayah mempunyai tugas yang
penting yaitu menyediakan sarana bagi berlangsungnya pendidikan tersebut. Keluargalah
yang menerapkan sunnah Rosul sejak bangun tidur, sampai akan tidur lagi,
sehingga bimbingan keluarga dalam melahirkan generasi Islam yang berkualitas
sangat dominan.
d.
Memelihara status sosial dan ekonomi
Dalam pembentukan keluarga, Islam mempunyai tujuan
untuk mewujudkan ikatan dan persatuan. Dengan adanya ikatan keturunan maka
diharapkan akan mempererat tali persaudaraan anggota masyarakat dan antar
bangsa. Untuk menjamin hubungan persudaraan yang akrab antara anak-anak satu
agama, maka Islam menganjurkan dilangsungkannya pernikahan dengan orang-orang
asing (jauh), karena dengan tujuan ini akan terwujud apa-apa yang tidak pernah
direalisasikan melalui pernikahan keluarga dekat.
Selain fungsi sosial, fungsi ekonomi dalam berkeluarga
juga akan nampak. Mari kita simak hadist Rosul “Nikahilah wanita, karena ia
akan mendatangkan Maal” (HR. Abu Dawud, dari Urwah RA). Maksud dari hadist
tersebut adalah bahwa perkawinan merupakan sarana untuk mendapatkan keberkahan,
karena apabila kita bandingkan antara kehidupan bujangan dengan yang telah
berkeluarga, maka akan kita dapatkan bahwa yang telah berkeluarga lebih hemat dan
ekonomis dibandingkan dengan yang bujangan. Selain itu orang yang telah
berkeluarga lebih giat dalam mencari nafkah karena perasaan bertanggung jawab
pada keluarga daripada para bujangan.
e.
Menjaga kesehatan
Ditinjau dari segi kesehatan, pernikahan berguna untuk
memelihara para pemuda dari kebiasaan onani yang banyak menguras tenaga, dan
juga dapat mencegah timbulnya penyakit kelamin.
f.
Memantapkan spiritual (ruhiyyah)
Pernikahan berfungsi sebagai pelengkap, karena ia setengah dari keimanan
dan pelapang jalan menuju sabilillah, hati menjadi bersih dari berbagai
kecendrungan dan jiwa menjadi terlindung dari berbagai waswas.
Menegakkan Keluarga Sakinah sebagai Salah Satu Fungsi Keluarga
Selain fungsi keluarga tersebut di atas, fungsi
kesakinahan merupakan kebutuhan setiap manusia. Karena keluarga sakinah yang
berarti keluarga yang terbentuk dari pasangan suami istri yang diawali dengan
memilih pasangan yang baik, kemudian menerapkan nilai-nilai Islam dalam
melakukan hak dan kewajiban rumah tangga serta mendidik anak dalam suasana
mawaddah wa rahmah. Sebagaimana dianjurkan Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21
yang artinya: “Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ia ciptakan untukmu
pasangan-pasangan dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenang kepadanya dan
dijadikannya diantaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya dalam hal ini
terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang memikirkan” (QS.
Ar-Ruum: 21).
Faktor-faktor pembentukan keluarga sakinah
A.
Faktor utama
Untuk membentuk
keluarga sakinah, dimulai dari pranikah, pernikahan, dan berkeluarga. Dalam
berkeluarga ada beberapa hal yang perlu difahami, antara lain:
1.
Memahami hak suami terhadap istri dan kewajiban istri terhadap suami
a. Menjadikannya sebagai Qowwam (yang bertanggung jawab)
Suami merupakan
pemimpin yang Allah pilihkan. Suami wajib ditaati dan dipatuhi dalam setiap
keadaan kecuali yang bertentangan dengan syariat Islam.
b. Menjaga kehormatan diri
Menjaga akhlak
dalam pergaulan. Menjaga izzah suami dalam segala hal. Tidak memasukkan orang
lain ke dalam rumah tanpa seizin suami
c. Berkhidmat kepada suami
Menyiapkan dan
melayani kebutuhan lahir batin suami. Menyiapkan keberangkatan. Mengantarkan
kepergian. Suara istri tidak melebihi suara suami. Istri menghargai dan
berterima kasih terhadap perlakuan dan pemberian suami.
2.
Memahami hak istri terhadap suami dan kewajiban suami terhadap istri
a. Istri berhak mendapat mahar
b. Mendapat perhatian dan pemenuhan kebutuhan lahir batin
Mendapat nafkah:
sandang, pangan, papan. Mendapat pengajaran Diinul Islam. Suami memberikan
waktu untuk memberikan pelajaran. Memberi izin atau menyempatkan istrinya untuk
belajar kepada seseorang atau lembaga dan mengikuti perkembangan istrinya.
Suami memberi sarana untuk belajar. Suami mengajak istri untuk menghadiri
majlis ta’lim, seminar atau ceramah agama.
c. Mendapat perlakuan baik, lembut dan penuh kasih sayang
Berbicara dan
memperlakukan istri dengan penuh kelembutan lebih-lebih ketika haid, hamil dan
paska lahir. Sekali-kali bercanda tanpa berlebihan. Mendapat kabar perkiraan
waktu kepulangan. Memperhatikan adab kembali ke rumah.
B.
Faktor penunjang
1.
Realistis dalam kehidupan berkeluarga
Realistis dalam
memilih pasangan. Realistis dalam menuntut mahar dan pelaksanaan walimahan.
Realistis dan ridho dengan karakter pasangan. Realistis dalam pemenuhan hak dan
kewajiban.
2.
Realistis dalam pendidikan anak
Penanganan
Tarbiyatul Awlad (pendidikan anak) memerlukan satu kata antara ayah dan ibu,
sehingga tidak menimbulkan kebingungan pada anak. Dalam memberikan ridho’ah
(menyusui) dan hadhonah (pengasuhan) hendaklah diperhatikan muatan: Tarbiyyah
Ruhiyyah (pendidikan mental); Tarbiyah Aqliyyah (pendidikan intelektual);
Tarbiyah Jasadiyyah (pendidikan Jasmani).
3.
Mengenal kondisi nafsiyyah suami istri
4.
Menjaga kebersihan dan kerapihan rumah
5.
Membina hubungan baik dengan orang-orang terdekat
a.
Keluarga besar suami/istri
b.
Tetangga
c.
Tamu
d.
Kerabat dan teman dekat
6.
Memiliki ketrampilan rumah tangga
7.
Memiliki kesadaran kesehatan keluarga
C.
Faktor pemeliharaan
1.
Meningkatkan kebersamaan dalam berbagai aktifitas.
2.
Menghidupkan suasana komunikatif dan dialogis.
3.
Menghidupkan hal-hal yang dapat merusak kemesraan keluarga baik dalam
sikap, penampilan maupun prilaku.
a. Keseimbangan
(Sekufu)
Antara memilih dan dipilih.
Begitulah sesungguhnya hidup ini. Hal ini dikarenakan kehidupan manusia di
dunia ini sering diwarnai sebuah proses pilihan hidup yang saling susul-menyusul,
yang selalu hadir dalam dua buah kondisi: Memilih ataukah dipilih! Dan salah
satu kenyataan hidup yang tak dapat kita hindari adalah keniscayaan untuk
memilih calon suami atau istri sebagai pendamping hidupnya di dunia bahkan
hingga di akhirat.
Masalah pertama yang harus diperhatikan
Dalam
membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, pemilihan pasangan
hidup merupakan pintu gerbang pertama yang harus dilewati secara benar sebelum
masuk kepada lembaga keluarga Islami yang sesungguhnya, sehingga perjalanan
selanjutnya menjadi lebih mudah dan indah untuk dilalui.
Karena itu
ajaran Islam sangat menekankan sistem pemilihan pasangan hidup yang berpedoman
kepada nilai-nilai Islam. Tujuannya agar lelaki yang shalih akan mendapatkan
wanita yang shalihah, demikian pula sebaliknya. Allah berfirman:
"Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula)” (QS. An Nuur: 26).
Mengapa kita harus selektif?
Kecermatan
memilih pasangan hidup sangat menentukan keberhasilan perjalanan seorang hamba
di dunia dan akhirat. Apalagi mengingat pernikahan merupakan bentuk penyatuan
dari dua lawan jenis yang berbeda dalam banyak hal, keduanya tentu memiliki
kebaikan dan keburukan yang tingkatannya juga berbeda satu sama lain.
Adalah menjadi suatu hak dan kewajiban bagi setiap
muslim dan muslimah untuk mencari pendamping yang benar-benar akan membuka
pintu kebaikan buat dirinya dan mengundang keridhaan dari Rabb-nya dan hal ini
hanya dapat dicapai bila diawali proses pemilihan calon pasangan hidup yang
selektif, yang dilandasi oleh semangat Islami sebagai dasar terjadinya suatu
pernikahan. Karena, setelah
pernikahan, tidak ada pilihan lagi buat kita, kecuali dua hal: mendapatkan
ketenangan yang membahagiakan rumah tangga atau memperoleh kesengsaraan yang
membinasakan.
Akibat salah memilih
Akibat salah dalam memilih pasangan hidup, banyak
pasangan suami istri yang menghadapi kesulitan dan hidupnya malah tidak bahagia,
bahkan perceraian dan gonta-ganti pasangan menjadi sesuatu yang sudah biasa
dilakukan. Dewasa ini, begitu banyak kasus pertikaian di dalam sebuah keluarga,
dari sekedar konflik yang berbentuk pertengkaran mulut sampai dengan
penganiayaan fisik bahkan pembunuhan, yang disebabkan oleh kesalahan langkah
awal dalam membentuk rumah tangga.
Iklim pergaulan di masyarakat kita yang memang
cenderung permisif dan belum Islami, merupakan penyebab utama yang melahirkan
pernikahan sebatas dorongan nafsu semata. Tolak ukur pencarian pasangan hidup
jarang yang berorientasi pada nilai-nilai agama. Melainkan seringkali hanya
sebatas keindahan fisik, melimpahnya materi dan mulianya status di masyarakat,
atau bahkan hanya karena sudah terlanjur cinta yang telah menyebabkan mata hati
menjadi buta terhadap kebaikan dan keburukan orang yang dicinta.
Apabila pernikahan terjadi hanya lantaran dorongan
nafsu semacam itu, maka wajarlah jika banyak pasangan yang bertikai merasa
kesulitan menyelesaikan permasalahan rumah tangga mereka secara Islami,
lantaran proses pernikahan mereka terjadi begitu saja secara naluriah, tanpa
ada landasan nilai-nilai ke-Islaman yang mengawali. Lalu bagaimana mungkin akan
kembali kepada Qur’an dan Sunnah, sedangkan mereka dahulunya tidak berangkat
dari keduanya? Maka memilih pasangan hidup atas dasar nilai-nilai Islam adalah
sikap yang penting, dan berhati-hati dalam memilih pasangan hidup menjadi suatu
keharusan bagi kita, camkanlah nasehat Luqman Al Hakim berikut ini:
“Wahai
anakku, takutlah terhadap wanita jahat karena dia membuat engkau beruban sebelum
masanya. Dan takutlah wanita yang tidak baik karena mereka mengajak kamu kepada
yang tidak baik, dan hendaklah kamu berhati-hati mencari yang baik dari
mereka.” (Begitu pula untuk Wanita berhati-hatilah dalam mencari
pasangan).
Siapa yang harus kita pilih?
Islam telah
mengajarkan dengan cermat atas dasar apa kita harus memilih pasangan hidup
kita:
“Dinikahi
wanita atas dasar empat perkara: karena hartanya, karena kecantikannya, karena
keturunannya, dan karena agamanya. Barangsiapa yang memilih agamanya, maka
beruntunglah ia.” (HR. al Bukhari dan Muslim).
Maka
jelaslah bagi kita bahwa ada empat dasar dalam menentukan siapa yang layak
untuk kita pilih menjadi pasangan hidup kita, yakhi kekayaan, keelokan, keturunan
serta akhlak dan agama. Dan di antara semuanya, maka akhlak dan agama menjadi
jaminan kedamaian dan kebahagiaan, sebaliknya pengabaian bahkan pengingkaran
terhadap masalah ini akan menyebabkan fitnah dan kerusakan yang besar bagi para
pelakunya. Alangkah indahnya memang bila kesemuanya terkumpul pada diri
seseorang hamba Allah.
Pilih yang
taqwa, baru yang lain
Yang pertama
adalah perihal kekayaan
Hal ini
memang utama, bahkan Rasulullah SAW adalah seorang dermawan yang paling banyak
sedekahnya, tetapi pernikahan bukanlah sekedar transaksi perdagangan semata,
bahkan Allah mengancam mereka yang menikah semata-mata karena mengharapkan
kekayaan dengan kefakiran: “Barangsiapa yang menikahi wanita karena
hartanya, Allah tidak akan menambahkannya kecuali kefakiran..” (HR. Ibnu
Hibban).
Yang kedua adalah keelokan
Hal ini juga
memang boleh-boleh saja dan menyukai keelokan memang fitrah manusia, bahkan
Allah sendiri indah dan menyukai keindahan, tetapi pernikahan pun bukan sekedar
kesenangan mata belaka. Sesungguhnya keelokan merupakan karunia Allah kepada
hamba-Nya, yang kelak pasti akan diambil-Nya secara perlahan dengan
bertambahnya usia sang hamba. Karena memang tidak ada keelokan yang berkekalan di
dunia yang fana ini. “Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya,
sebab kecantikan itu akan lenyap dan janganlah kamu menikahi mereka karena
hartanya, sebab harta itu akan membuat dia sombong. Akan tetapi nikahilah
mereka karena agamanya, sebab seorang budak wanita yang hitam dan beragama itu
lebih utama.” (HR. Ibnu Majah).
Dan ketiga adalah keturunan
Demikian
pula hal ini juga sesuatu yang utama, tetapi pernikahan pun bukan sekedar
kebanggaan silsilah yang justru bisa membawa kepada penyakit (ashobiyah). Bahkan Allah mengancam
mereka yang menikahi seseorang hanya untuk mengejar keturunan, dengan
memberikan kerendahan bukan kemuliaan. “Barangsiapa yang menikahi wanita
karena keturunannya, Allah tidak akan menambahkan kecuali kerendahan…”(HR.
Ibnu Hibban).
Terakhir yang keempat adalah akhlak
dan agama
Inilah
faktor yang paling utama, yang tidak boleh tidak, harus ada pada calon pasangan
hidup kita. Semakin baik akhlak dan agama seseorang, maka seakan-akan semakin
jelaslah kebahagiaan sebuah rumah tangga telah terbentang di hadapan kita.
Akhlak dan agama di sini bukanlah sebatas ilmu dan retorika atau banyaknya hafalan
di kepala, melainkan mencakup ucapan dan perbuatan sebagai cerminan dari hati
seseorang yang telah melekat dalam kepribadiannya, dan inilah TAQWA yang
sebenarnya!
Betapa
beruntungnya menikah dengan hamba yang bertaqwa, karena ia pandai menghormati
pasangan hidupnya dan sangat berhati-hati dari menzhaliminya, sebagaimana
jawaban Hasan bin Ali ketika ada seseorang yang bertanya, “Aku mempunyai anak
gadis, menurutmu kepada siapa aku harus menikahkannya?”, maka Hasan menjawab, “Nikahkanlah
ia dengan lelaki yang bertaqwa kepada Allah. Jika lelaki itu mencintainya, maka
ia akan menghormatinya, dan jika marah maka ia tidak akan menzhaliminya”. Dan
sebaliknya penolakan terhadap lelaki atau wanita yang bertaqwa, bagaikan
menolak kebaikan dan menggantinya dengan kerusakan. Simaklah kedua hadits
berikut ini:
“Jika datang
seorang laki-laki kepadamu (untuk melamar), sedang kau tahu ia baik akhlak dan
agamanya lalu kau tolak, maka jadilah fitnah buatmu dan kerusakan yang besar,” (HR. Ibnu
Majah).
“Apabila
telah datang kepadamu seorang wanita yang agama dan akhlaknya baik maka
nikahilah dia. Jika engkau menikahi wanita bukan atas dasar agama dan akhlak,
maka wanita itu akan menjadi fitnah dan menimbulkan kerusakan luas.”(HR. At
Tirmidzi).
Akhirnya
pernikahan yang ideal sesungguhnya merupakan keseimbangan dari semua faktor
tersebut, dengan akhlak dan agama sebagai parameter yang paling penting, karena
itu dalam memilih pasangan hidup, jangan sampai niatan kita hanya sekedar
mencari kecantikan atau keturunan atau harta saja dengan meninggalkan kriteria
taqwa, sehingga tidak ada keberkahan yang akan kita dapatkan dalam rumah tangga
kita kelak.
“Barangsiapa
yang menikahi wanita karena hartanya, Allah tidak akan menambahkannya kecuali
kafakiran. Barangsiapa yang mengawini wanita karena untuk memejamkan
pandangannya, menjaga kemaluannya serta menjalin tali persaudaraan, niscaya
Allah memberkahinya.” (HR. Ibnu Hibban).
Mempersempit pilihan untuk keutamaan
Tidak jarang seseorang dihadapkan
pada sekian banyak pilihan pasangan hidup yang dari segi akhlak dan agama sama
dan setaraf, apalagi masalah di dalam ketaqwaan seseorang memang sulit untuk
dideteksi dalam waktu yang singkat. Maka untuk mencari sebuah keutamaan,
pilihan kadang memang perlu dipersempit, sebab semakin banyak pilihan maka akan
semakin sulit bagi kita untuk memilih yang terbaik. Dan menurut kacamata agama
yang tentunya selalu selaras dengan fitrah dan naluriah seorang insan. Ada
beberapa keutamaan yang bisa dipertimbangkan dalam memilih pasangan hidup.
1.
Pilihan yang sekufu
“Pilihlah wanita-wanita yang akan melahirkan anak-anakmu dan nikahilah
wanita yang sekufu (sederajat) dan nikahlah dengan mereka.” (HR. Ibnu
Majah, Al Hakim, dan Al Baihaqi).
Al Kafa’ah merupakan masalah kesesuaian dan kesamaan antara pasangan
pernikahan yang dianggap paling mendekati, seperti pertimbangan akan masalah:
usia, garis keturunan, kehormatan, profesi, atau tingkat pendidikan. Para ulama
menyarankan agar laki-laki idealnya menikah dengan wanita yang setingkat
dengannya atau di bawahnya, sedangkan seorang wanita sebaiknya menikah dengan
laki-laki yang mempunyai tingkatan yang sama atau di atasnya.
Tetapi penting untuk dipahami, bahwa tingkat kesamaan sosial ini bukanlah
merupakan syarat mutlak dalam sebuah proses pernikahan, karena Islam sendiri
adalah agama tanpa kelas, yang menyamakan kedudukan semua hambanya, terkecuali
dari ketakwaanya.
Kalaupun ia menjadi sebuah pertimbangan, adalah semata-mata sebagai
tindakan kehati-hatian, agar kelak tidak ada penyesalan dikemudian hari yang
akhirnya bisa lebih menyakitkan, karena sesungguhnya hati manusia itu memang
sering labil dan mudah berubah-ubah. Dan masalah ini, sebenarnya merupakan tata
cara kebijaksanaan duniawi yang masih bisa disepakati bila ada persetujuan
diantara kedua belah pihak.
2.
Memilih yang penuh kasih sayang dan subur
“Nikahilah wanita-wanita yang penuh kasih dan banyak memberikan keturunan
(subur) sebab aku akan bangga dengan banyaknya ummat di hari kiamat kelak” (HR. Ahmad).
Hamba yang penuh kasih dan mengasihi adalah hamba yang memiliki nada
perasaan (afek) yang halus serta emosi yang terkendali. Kita dapat mengenali
apakah seseorang termasuk kriteria ini melalui ucapan, perbuatan ataupun
tatapan mata, baik di kala ia gembira maupun kecewa, yang kesemuanya itu dapat
memberikan gambaran tentang bagaimana kepribadian dan isi hati yang
dimilikinya. Apakah dipenuhi kelembutan dan kasih sayang? Ataukah dipenuhi
kekasaran, kebencian dan kepalsuan?
Sementara itu mereka secara mudahnya dapat kita ketahui dari berapa jumlah
saudara atau keluarganya yang terdekat, atau dari jenis penyakit penghambat
keturunan yang diderita dirinya ataupun saudaranya dan keluarganya yang
terdekat.
33.
Memilih kerabat yang jauh
Nasihat
Rasulullah SAW: “Janganlah kalian menikahi kerabat dekat, sebab dapat
berakibat melahirkan keturunan yang lemah akal dan fisik.” Dan selain untuk
menjaga kualitas keturunan dari penyakit bawaan, menikahi mereka yang berasal
jauh dari keluarga kita akan menambah ikatan kekerabatan dengan orang lain,
serta memberikan kebahagiaan sendiri bila harus berpergian jauh untuk saling
silaturahim.
4.
Memilih para gadis
“Nikahilah
para gadis sebab ia lebih lembut mulutnya, lebih lengkap rahimnya, dan tidak
berfikir untuk menyeleweng, serta rela dengan apa yang ada di tanganmu.” (HR. Ibnu
Majah. Al Baihaqi dari Uwaimir bin Saidah).
Pernikahan
dengan yang masih gadis lebih utama daripada janda, karena dapat membuat
hubungan lebih erat dan menyatu, mereka lebih mudah digoda dan bercanda serta
bersenang-senang, lebih setia dan menerima, serta lebih sedikit beban mental
dan psikologisnya bagi kita. Semua ini mempunyai kesan dan kenikmatan
tersendiri di dalam menambah keindahan rumah tangga.
b. Cinta
Kasih
Suatu hal yang
tidak boleh dilupakan dalam memilih calon istri adalah hendaknya dia adalah
wanita yang dicintai dan menerima cinta atau mencintai calon suami. Karena
wanita yang dicintai inilah tentunya yang paling ideal dan paling disenangi
oleh calon suami. Sebagaimana Allah SWT sendiri memerintahkan agar kita menikah
dengan wanita yang menyenangkan atau yang kita senangi. Firmannya: “...Maka menikahlah dengan wanita yang
menyenangkan hati kalian!...” (QS an-Nisa ayat 3).
Pada dasarnya,
cinta adalah hal yang amat misteri dan amat suci. Kadang-kadang kita sendiri
kesulitan mendeteksi dari mana asalnya cinta, yang tiba-tiba telah tumbuh dalam
diri kita. Tanpa diduga sebelumnya, tiba-tiba muncul dan jatuh pada seseorang
(lawan jenis). Padahal mungkin secara nalar tidak masuk akal. Bisa saja pemuda
tampan justru jatuh cinta kepada gadis yang buruk rupa. Tidak mustahil gadis
bangsawan nan rupawan justru tergila-gila kepada pemuda desa yang tidak
tergolong tampan. Tidak sedikit pengusaha muda yang sukses justru cintanya
tertambat pada karyaatinya yang rendah jabatanya, dan seterusnya.
Itulah gambaran
tentang misteri sebuah cinta. Hal ini menunjukan bahwa cinta itu datangnya
tentu dari Yang Maha Suci. Oleh karena itu, maka apabila cinta itu benar-benar
muncul dari relung hatinya yang amat dalam; niscaya dapat dipastikan bahwa
cinta itu adalah suci adanya.
Menyadari akan
misteri dan sucinya sebuah cinta, maka para remaja muslim hendaklah bersikap
arif dalam menghadapinya. Ketika perasaan cinta datang menghampiri, seyogyanya
segera dikonfirmasikan kepada Sang Pemberi Cinta itu sendiri, yakni dengan
jalan melakukan shalat istikharah. Selain itu juga tidak boleh lupa untuk
segera mempertimbangkanya dengan perenungan yang sejernih mungkin, sesuai
dengan ajakan Islam atau tidak.
Jika menurut
berbagai pertimbangan, wanita itu benar-benar ideal, dan hasil dari konfirmasi
terhadap Allah (shalat istikharah) pun menunjukan tanda-tanda positif, maka
langkah berikutnya ialah menjajagi perihal wanita tersebut untuk kemudian
meminang dan menikahinya.
c. Komitmen
Perkawinan
Penting untuk
memahami arti sebuah komitmen perkawinan. Selama ini komitmen perkawinan
dipahami sebatas tingkat keinginan seseorang untuk bertahan dalam
perkawinannya. Padahal menurut Michael P. Johnson, penggagas teori komitmen
perkawinan dari The Pennsylvania State University, komitmen perkawinan
perlu dipahami dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Komitmen personal,
yaitu keinginan untuk bertahan karena cinta terhadap pasangan dan perasaan puas
terhadap hubungan itu sendiri.
2. Komitmen moral,
yaitu rasa bertanggung jawab secara moral baik terhadap pasangan maupun janji
perkawinan.
3. Komitmen struktural
yang berbicara mengenai komitmen untuk bertahan dalam suatu hubungan karena
alasan-alasan struktural seperti yang disebutkan di atas.
Meskipun Johnson
menganggap ketiga komitmen ini dapat berdiri sendiri, adalah menarik untuk
melihat kaitannya satu sama lain. Meminjam istilah Johnson, orang-orang yang
sekedar bertahan karena alasan-alasan yang disebutkan di atas adalah orang yang
memiliki komitmen moral dan struktural yang tinggi, namun komitmen personalnya
rendah. Komitmen moral dan struktural memegang peranan kunci ketika seseorang
hendak memutuskan untuk bercerai. Kedua komitmen tersebut dapat membuat
pasangan menghindari perceraian, namun memiliki keduanya tidak menjamin
kebahagiaan perkawinan.
Kedua komitmen
tersebut hanya menurunkan probabilitas terpilihnya perceraian sebagai suatu
solusi. Orang yang memiliki keduanya tetapi tidak memiliki komitmen personal,
akan mengeluhkan betapa kering perkawinan mereka. Perkawinan ini juga lebih
rawan akan konflik. Ditambah dengan tidak adanya lagi rasa tertarik terhadap
hubungan dan pasangan, masing-masing dapat kehilangan minat untuk menyelesaikan
konflik tersebut. Akhirnya pasangan ini menjadi rentan terhadap perselingkuhan.
Perkembangan
teknologi yang mendukung seperti telepon genggam dan internet semakin membuka
akses ke arah perselingkuhan. Ada yang ‘sekedar’ selingkuh emosional seperti
misalnya chatting di internet atau ber-sms ria. Orang yang melakukan
selingkuh jenis ini biasanya tidak menyadari bahwa mereka telah berselingkuh.
Padahal perselingkuhan ini dapat meningkat menjadi perselingkuhan jenis
romantik, yang melibatkan cinta mendalam disertai hubungan seksual. Umumnya
mereka yang melakukannya akan sulit untuk menghentikan perselingkuhan.
Perselingkuhan
yang intens semacam ini dapat merusak perkawinan. Pada orang-orang dengan
komitmen struktural rendah, perselingkuhan dapat langsung mengakhiri
perkawinan. Pada orang yang memiliki komitmen struktural tinggi, umumnya
cenderung memilih untuk memperbaiki perkawinan. Namun membangun kembali
kepercayaan pasca perselingkuhan bukan hal yang mudah. Dampak perselingkuhan
akan tetap terasa dalam jangka panjang. Membutuhkan kemampuan untuk melupakan
dan memaafkan agar perkawinan dapat kembali normal.
Pada budaya
tertentu yang mengizinkan poligami, komitmen personal yang rendah menjadi salah
satu faktor pendorongnya. Di negara kita poligami hanya dapat dilakukan oleh
laki-laki. Atau lebih spesifik dapat dikatakan sebagai poligini, yaitu suami
memiliki banyak istri. Di India, khususnya di wilayah Ladakh dan Lahaul, hukum
membolehkan poliandri, yaitu seorang istri memiliki beberapa suami. Menurut
Frank Pittman, seorang terapis keluarga, poligami dengan dasar ketidakpuasan
terhadap pasangan, merupakan salah satu bentuk ketidaksetiaan yang tergolong
sebagai pengaturan perkawinan (marital arrangements). Salah satu
bentuk lain dari marital arrangements yang sedang beken di
kalangan selebriti kita adalah kawin siri. Kawin siri berasal dari kata Syr,
yang artinya sembunyi. Jadi perkawinan siri adalah perkawinan tanpa saksi
karena tidak ingin diketahui orang lain, terutama pihak istri pertama.
Oleh karena itu
komitmen personal menempati posisi terpenting, yang seharusnya dimiliki setiap
pasangan. Karena seseorang yang puas dengan kehidupan perkawinannya, akan lebih
mungkin untuk berkomitmen dengan perkawinannya. Hal ini terlepas dari tinggi
rendahnya komitmen struktural yang mereka miliki. Tiap pasangan seyogianya
lebih mawas diri (aware) terhadap jenis komitmen yang mereka
miliki. Karena tidak ada atau rendahnya kepuasan dan cinta terhadap pasangan
dapat membuat seseorang mencarinya di luar perkawinan. Karena itu
perselingkuhan sebenarnya bukan penyebab masalah dalam perkawinan, tetapi lebih
menjadi sinyal bahwa telah ada yang salah dengan perkawinan itu.
Dengan demikian,
komitmen personal tentunya perlu dijaga untuk membangun perkawinan yang bebas affair.
Menjaga komitmen personal berarti menjaga kepuasan hubungan. Kepuasan bersifat
subjektif dan tergantung dari masing-masing pasangan. Oleh karena itu kita
butuh memahami keinginan pasangan dan menyesuaikan diri satu sama lain. Untuk
itu perlu menjalin komunikasi dua arah, mendiskusikan perbedaan, dan
mendengarkan penuh empati. Disertai dengan respek satu sama lain, dan
dilengkapi dengan rasa percaya.
Bagian yang
tersulit dari menjaga komitmen personal adalah menjaga agar cinta terhadap
pasangan tetap menyala. Jatuh cinta selalu melipatgandakan semangat dan membuat
hidup terasa lebih indah. Sayangnya sebagaimana yang dikatakan Thomas
Moore, cinta membawa kita kepada pernikahan namun akhirnya pernikahanlah yang
memadamkan cinta tersebut.
a) Senantiasa
mawas diri jikalau mulai jenuh dengan pasangan.
b) Terus
berusaha mencari sisi positif yang dimiliki pasangan.
c) Saat
melihat kekurangan pasangan, cobalah mengingat apa yang pernah membuat kita
jatuh cinta dengan pasangan. Apa yang tidak kita sukai saat ini dari pasangan
bisa jadi dulunya merupakan hal yang telah membuat kita jatuh cinta. Misalkan
saat ini kita menganggapnya terlalu mengatur. Padahal tadinya kita menikahinya
karena ketegasannya. Sekarang kita bosan karena ia terlalu sering berkaca.
Padahal tadinya kita jatuh cinta karena ia tampil menarik.
d. Komunikasi
Efektif
Kehidupan
memposisikan suami maupun istri dalam peran yang bermacam-macam, tapi kemudian
masing-masing cenderung kepada keinginan dan kepentingannya sediri. Dan ketika
masing-masing bersikeras dengan kecenderungan dan kepentingannya itu maka
kerapkali susana rumah tangga memanas. Perlu diingat kalaupun ada pihak yang
menang atau kalah, itu bukan berarti permasalahan rumah tangga itu menjadi
dingin. Itu hanya penundaan yang suatu saat akan memuncak dan meledak.
Penyelesaian
yang baik dan rasional adalah dengan berbicara agar keutuhan rumah tangga bisa
dipertahankan. Banyak kasus ketika bicara baik-baik itu penting. Misalnya,
ketika seorang istri yang sebelumnya tidak bekerja, kemudian ingin bekerja
karena merasa anak-anak sudah cukup dewasa. Ketika suami memutuskan untuk
bekerja ke luar negeri, sementara istri tidak menginginkan suaminya
meninggalkan keluarga. Ketika istri menginginkan agar ibunya tinggal serumah
dengannya, padahal adik-adiknya masih ada dan, menurut suami, merekalah yang
berhak untuk mengurusnya. Ketika suami ingin menikah lagi dan istri melihat itu
akan berdampak buruk terhadap kehidupannya. Dan masih banyak contoh lainnya.
Penggunaan istilah
‘berbicara baik-baik’ rasanya memang kurang enak bagi telinga sebagian orang,
karena mengesankan ada hubungan yang erat dengan perselisihan dan pertengkaran.
Istilah ini tidak punya konteks politis, tapi lebih merupakan menejemen
hubungan suami-istri dengan cara yang rapi, tidak sembrono dengan tetap
mengedepankan kemaslahatan semua pihak. Itu artinya niat untuk berbicara harus
muncul dari kesadaran kedua belah pihak, bahwa mereka memiliki suatu kesatuan
yang menyatu dan tidak terpisahkan. Alternatif ini merupakan cara untuk
menyeimbangkan hak-hak dan kewajiban, yang merupakan salah satu bentuk
penyelesaian yang berdasarkan ketentuan syari’at Islam yang prinsipnya adalah
cinta dan kasih sayang.
1. Yang penting adalah
mempersiapkan apa saja yang akan dibicarakan dan cara yang bagaimana yang bisa
memuaskan pasangannya.
2. Tidak
terlalu menuntut merupakan hal yang penting untuk mewujudkan pembicaraan yang
berhasil, tetapi bukan semua tuntutannya terpenuhi.
3. Berbicara
terkadang mengharuskan membuka kembali kenangan lama agar bisa sampai kepada
penyelesaiannya, karena salah satu pihak akan rugi demi seimbangnya kembali
hubungan suami-isteri. Contohnya: ketika suami mengizinkan isteri bekerja, maka
suami pun harus rela menanggung beban tugas rumah tangga lebih besar daripada
sebelumnya. Dalam hal ini penting sekali untuk menimbang secara matang
memberikan prioritasnya.